Sabtu, 30 Juli 2011

Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah Naungan Al-Qur`an Dan As-Sunnah

Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah Naungan Al-Qur`an Dan As-Sunnah

Oleh Ustadz Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi Al-Atsary

Berikut ini kami ketengahkan ke hadapan para pembaca tuntunan puasa Ramadhan yang benar, berupa kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang shohih.
Tulisan ini kami sarikan dari pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan dengan kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap muslim dan muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.
Harapan kami mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
1. Beberapa Perkara Yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.
* Tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu sementara mereka tidak mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka hal tersebut diperbolehkan.
Seluruh hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَا تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلًا كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali seseorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa tertentu maka (tetaplah) ia berpuasa.”
* Penentuan masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil yang nampak di awal bulan.
Dan bulan Islam hanya terdiri dari 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tatkala menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua tangannya seraya berkata :
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ فَصُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلَاثِيْنَ
“Bulan (itu) begini, begini dan begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga (yaitu sepuluh tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah kalian karena kalian melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena kalian melihatnya, kemudian apabila bulan tertutupi atas kalian maka genapkanlah bulan itu tiga puluh.”
Maka untuk melihat hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban setelah matahari terbenam. Selang beberapa saat bila hilal nampak maka telah masuk tanggal 1 Ramadhan dan apabila hilalnya tidak nampak berarti bulan Sya’ban digenapkan 30 hari dan setelah tanggal 30 Sya’ban secara otomatis besoknya adalah tanggal 1 Ramadhan.
* Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh negeri di dunia untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang bersandarkan kepada surat Al-Baqaroh ayat 185 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim yang tersebut di atas dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Ayat dan dua hadits di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada di belahan bumi ini, wajib atas mereka untuk berpuasa tatkala ada dari kaum muslimin yang melihat hilal.
2. Niat Dalam Puasa
* Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh jenis ibadah lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَىَ
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Karena itu hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena Allah Ta’ala.
* Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.
* Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.
* Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
* Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat setiap malam menurut pendapat yang paling kuat.
Tiga point terakhir berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari maka tidak ada puasa baginya.”
* Apabila telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu belum diterima kecuali pada pertengahan hari, maka hendaknyalah bersegera berpuasa sampai maghrib walaupun telah makan atau minum sebelumnya dan tidak ada kewajiban qodho` atasnya sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul Akwa’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤْذِنَ فِي النَّاسِ مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ
“Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari Aslam pada hari ‘Asyuro` (10 Muharram,-pent.) dengan memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia siapa yang belum berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang telah makan maka hendaknya dia sempurnakan puasanya sampai malam hari.”
3. Waktu Pelaksanaan Puasa
Waktu puasa bermula dari terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika matahari terbenam. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
4. Makan Sahur
* Makan sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para ulama. Hal itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat berkah bagi seorang muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”
Bahkan beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam yang sangat agung yang membedakan kaum muslimin dari orang–orang yahudi dan nashroni, beliau bersabda dalam hadits ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحْرِ
“Pembeda antara puasa kami dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”
* Dan juga disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh, sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memulai makan sahur dalam selang waktu membaca 50 ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek sampai waktu adzan sholat subuh. Hal tersebut dinyatakan dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قُلْتُ : كَمْ كَانَ قُدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk sholat. Saya berkata (Anas bin Malik yang meriwaytkan dari Zaid,-pent.) : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat”.”
* Dan dari hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan sahur secara bersama.
* Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shohih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
نِعْمَ سَحُوْرُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik sahur seorang mu’min adalah korma.”
* Batas akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah masuk adzan subuh maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari ayat dalam surah Al Baqoroh ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
* Apabila telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang makan atau minum maka hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dan beberapa ulama lainnya berdasarkan nash ayat di atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا سَمِعَ أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada di tangannya maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (dari bejana tersebut).”
Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hatim. Baca Al-‘Ilal 1/123 no 340 dan 1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol. 02 rubrik Hadits.
Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir-nya tapi harus dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan dari hadits adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa si muadzdzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
* Apabila seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah masuk.
Hal ini berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Ayat ini memberikan pengertian apabila fajar subuh telah jelas nampak maka harus berhenti dari makan dan minum, adapun kalau belum jelas nampak seperti yang terjadi pada orang yang ragu di atas masih boleh makan dan minum.
5. Perkara-Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa
* Diwajibkan atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan hubungan seksual. Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
* Diwajibkan meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.
* Juga diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.
Dua point di atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan melakukan perkara-perkara di atas, dan secara khusus menyangkut puasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak ada hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan dan minumnya (yaitu pada puasanya, -pent.).”
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشَّرَابِ, إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَفَثِ
“Bukanlah puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu hanyalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
* Meninggalkan puasa wishol.
Puasa wishol artinya menyambung puasa dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka. Puasa wishol adalah haram atas umat ini kecuali bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum riwayat Al-Bukhary dan Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْوِصَالِ قَالُوْا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ : إِنِّيْ لَسْتُ مِثْلَكُمْ إِنِّيْ أُطْعَمُ وَأُسْقَى
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari puasa wishol, maka para sahabat berkata : “Sesungguhnya engkau melakukan wishol?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya saya tidak seperti kalian saya diberi (kekuatan) makan dan minum.”
6. Perkara-Perkara Yang Jika Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh Baginya Untuk Berpuasa.
* Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.
Diperbolehkan baginya untuk berpuasa berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلََيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُوَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang-kadang dijumpai oleh waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”
Tidak ada perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan. Demikian pula wanita yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit fajar akan tetapi dia belum sempat mandi takut kesiangan dia juga boleh berpuasa menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama berdasarkan hadits di atas.
* Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan sunnah, apakah menggunakan kayu siwak atau dengan sikat gigi.
* Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi, tetapi dengan menjaga jangan sampai menelan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan juga jangan mempergunakan pasta gigi yang mempunyai pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak bisa diatasi.
Dua point di atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan disunnahkannya bersiwak seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صُلَاةٍ
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat.”
Dan dalam riwayat lain Malik, Ahmad, An-Nasa`i dan lain-lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
َوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak bersama setiap wudhu`.”
Dua hadits ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah dalam keadaan berpuasa atau tidak.
* Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`, dengan ketentuan tidak terlalu dalam dan berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam kerongkongan. Juga tidak ada larangan untuk berkumur-kumur disebabkan teriknya matahari sepanjang tidak menelan air ke kerongkongan. Seluruh hal ini berdasarkan hadits shohih dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.”
Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur dan menghirup air dalam wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa membedakan dalam keadaan berpuasa atau tidak.
* Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang sepanjang ia menjaga tidak tertelannya air ke dalam tenggorokannya.
* Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.
* Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai dirinya. Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ كَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mencium dalam keadaan berpuasa dan memeluk dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya.”
* Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak tidaklah membatalkan puasa kalau ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh karena ia adalah kotoran yang membahayakan tubuh.
* Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.
* Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan dan kembali mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya :
لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الصَّائِمُ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ الَّذِيْ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ مَالَمْ يُدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu yang ia ingin beli sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokannya.”
* Boleh bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, dan lain-lainnya.
Hal ini boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.
7. Hal-Hal Yang Makruh Bagi Orang Yang Berpuasa
* Berbekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala dan anggota tubuh lainnya) adalah makruh karena bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemas dan menyeret orang berbekam untuk berbuka. Demikian pula halnya yang semakna dengan ini adalah memberikan donor darah.
Hukum ini merupakan bentuk kompromi dari dua hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, yaitu antara hadits mutawatir yang di dalamnya beliau menyatakan :
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
“Telah berbuka orang yang berbekam dan orang yang membekamnya.”
Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary :
احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbekam dan beliau dalam keadaan berpuasa.”
* Memeluk dan mencium istrinya hingga membangkitkan syahwatnya.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dengan sanad yang shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata :
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِيْ رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِيْ نَهَاهُ شَابٌّ
“Sesungguhnya seseorang lelaki bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang berpelukan/bersentuhan bagi orang yang berpuasa maka beliau memberikan keringanan kepadanya (untuk melakukan hal tersebut) dan datang laki-laki lain bertanya kepadanya dan beliaupun melarangnya (untuk melakukan hal tersebut), ternyata orang yang diberikan keringanan padanya adalah orang yang sudah tua dan yang dilarang adalah seseorang yang masih muda.”
* Menyambung puasa dari maghrib sampai waktu sahur (puasa wishol)
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَا تُوَاصِلُوْا فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحْرَ
“Janganlah kalian puasa wishol, siapa yang menyambung maka sambunglah sampai waktu sahur.”
8. Pembatal-Pembatal Puasa.
* Makan dan minum dengan sengaja merupakan pembatal puasa, adapun kalau seseorang melakukannya dengan tidak sengaja atau lupa, tidaklah membatalkan puasanya.
Hal ini adalah perkara diketahui secara darurat dan dimaklumi oleh seluruh kaum muslimin berdasarkan dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah ayat dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Siapa saja yang lupa dan ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan dan minum, maka hendaknyalah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya ia hanyalah diberi makan dan minum oleh Allah.”
Pemahaman dari hadits ini bahwa siapa yang makan dan minum dengan sengaja maka batallah puasanya.
* Suntikan–suntikan penambah kekuatan berupa vitamin dan yang sejenisnya yang masuk dalam makna makan dan minum.
* Menelan darah mimisan dan darah yang keluar dari bibir juga merupakan pembatal puasa.
Dua point di atas berdasarkan keumuman nash-nash yang tersebut di atas.
* Muntah dengan sengaja juga membatalkan puasa, adapun kalau muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan.
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasai menahan muntahnya (muntah denga tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
* Haid dan nifas.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
* Bersetubuh.
Dalilnya akan disebutkan kemudian insya Allah.
9. Berbuka Puasa.
* Waktu berbuka puasa adalah ketika siang beranjak pergi dan matahari telah terbenam dan malampun menyelubunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu : dalam
ثُمَّ أَتمُِّوْا الصِّيَامَ إِلَى اْللِيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Dan diantara sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, adalah hadits Umar bin Khaththab riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنُ هَاهُنِا وَأَدْبَرَ مِنْ هَاهُنَا وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَائِمُ
“Apabila malam telah datang dan siang beranjak pergi serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa telah waktunya berbuka.”
* Disunnahkan mempercepat berbuka puasa ketika telah yakin bahwa waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idy Radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ
“Terus-menerus manusia berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa.”
Bahkan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam menganggap mempercepat berbuka puasa sebagai salah satu sebab tetap nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan, beliau menegaskan :
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِراً مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ, لِأَنَّ اْليَهُوْدَ وَاْلنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Terus-menerus agama ini akan nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa karena orang-orang Yahudi dan Nashoro mengakhirkannya.”
* Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbuka puasa sebelum sholat Maghrib dengan memakan ruthob (kurma kuning yang mengkal dan hampir matang) dan apabila beliau tidak menemukan ruthob maka beliau berbuka dengan korma (matang) jika tidak menemukan korma maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتُ فَعَلَى ثَمَراتٍ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbuka dengan beberapa biji ruthob sebelum sholat, apabila tidak ada ruthob maka dengan beberapa korma,dan kalau tidak ada korma maka dengan beberapa teguk air.
* Dan disunahkan memperbanyak do’a ketika berbuka, karena waktu itu merupakan salah satu tempat mustajabnya (diterimanya) do’a sebagaimana dalam hadits yang shohih dari seluruh jalan-jalannya.
* Merupakan suatu amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar apabila seseorang memberikan makanan buka puasa pada saudaranya yang berpuasa.
Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhany Radhiyallahu ‘Anhu riwayat Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ إِلاَّ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أًجْرِ الصَّائِمِ شَيءٌ
“Siapa yang memberikan makanan buka puasa pada orang yang berpuasa maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”
10. Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa
* Musafir
Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184 :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dan suatu hal yang kita ketahui bersama bahwa perjalanan safar kadang merupakan perjalanan meletihkan dan kadang perjalanan yang tidak meletihkan. Adapun perjalanan yang meletihkan, yang paling utama bagi sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفَرٍفَرَأَى رَجُلاً قَدْ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَقَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ: مَالَهُ قَالُوْا: رَجُلٌ صَائِمٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَ اْلبِرِّ أَنْ تَصُوْمَ فِيْ السَّفَرِ
“Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau melihat seorang lelaki telah dikelilingi oleh manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya :”Ada apa dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang berpuasa,” maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Bukanlah dari kebaikan berpuasa dalam safar”
Kendati demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan karena ada pembolehan dalam syari’at bagi orang yang mampu untuk berpuasa walaupun dalam perjalanan yang meletihkan.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau berkata :
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ النَّاسَ فِيْ سَفَرِهِ عَامَ الْفَتْحِ بِاْلفِطْرِ وَقَالَ تَقَوُّوْا لِعَدُوِّكُمْ وَصَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ قَالَ الَّذِيْ حَدَّثَنِيْ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ بِاْلعَرْجِ يُصِبُ عَلَى رَأسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ اْلعَطْشِ أَوْمِنْ الْحَرِّ
“Saya melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkan manusia untuk berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau pada tahun penaklukan Makkah dan beliau berkata :“Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin ‘Abdurrahman rawi dari sahabat) sahabat yang bercerita kepadaku bertutur : ”Sesungguhnya saya melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air diatas kepalanya dan beliau dalam keadaan berpuasa karena kehausan atau karena kepanasan.”
Dan juga dalam hadits Abu Darda’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata :
خَرَجْنَا مَعَ رَسَوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْ حَرٍّ شَدِيْدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحِرِّ وَمَا فِيْنَا صَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ عَبْدُاللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
“Kami keluar bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas kepalanya karena panas yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.”
Adapun dalam perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari berbuka menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada hadits-hadits di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban secepat mungkin adalah lebih bagus untukmengangkat kewajibannya, karena itulah dalam posisi perjalanan yang tidak meletihkan lebih afdhol baginya untuk berpuasa.
* Orang yang sakit.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqaroh ayat 184 :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
* Wanita haid atau nifas
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تُصَمْ
“Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.”
Dan wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan wanita haid, hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu ‘Anha riwayat Imam Al-Bukhary :
بَيْنَمَا أَنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعَةٌ فِيْ قَمِيْصَةِ إِذْ حَضَتْ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حَيْضِيْ فَقَالَ أَنَفِسْتِ فَقُلْتُ نَعَمْ فَدَعَانِيْ فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِيْ الْخَمِيْلَةِ
“Tatkala saya berbaring bersama Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di dalam sebuah baju maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu saya mengambil pakaian haidku maka beliau bersabda: “apakah kamu nifas,” maka saya menjawab : “Ya.” Lalu beliau memanggilku lalu sayapun berbaring bersamanya diatas permadani.”
Pertanyaan beliau : “Apakah kamu nifas” padahal Ummu Salamah ketika itu menjalani haid bukan nifas sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menunjukkan bahwa haid dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula sebaliknya.
* Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa
* Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif kepada kandungannya, anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri apabila ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184.
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامٌ مِسْكِيْنِ
Berkata Ibnu ‘Abbas :
رَخَّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلعَجُوْزِ اْلكَبِيْرَةِ فِيْ ذَلِكَ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءا أَوْيُطْعِمَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْناً وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِيْ هَذِهِ اْلآيَةِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَثَبَتَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلعَجُوْزُ الْكَبِيْرَةِ إِذَا كَانَا لاَ يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنٍَا
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent) sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent), boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafadz hadits oleh Ibnul Jarud)
11. Meng-qodho` (mengganti) Puasa.
* Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beberapa orang :
1. Musafir.
2. Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.
Yaitu sakit yang menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit yang bisa disembuhkan.
Dua point di atas berdasarkan firman Allah Ta’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
• Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wanita haidh sebagaimana yang telah dijelaskan.
• Muntah dengan Sengaja
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasa menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
• Makan dan Minum Dengan Sengaja.
Orang yang tidak berpuasa karena ketinggalan berita bahwa Ramadhan telah masuk pada hari yang ia tinggalkan.
Hal ini berdasarkan dalil akan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan satu bulan penuh maka jika ia luput sebagian dari bulan Ramadhan maka ia tidak dianggap berpuasa satu bulan penuh.[1]
Tidak ada qodho` atas selain orang-orang tersebut diatas.
* Waktu Untuk meng-qodho`
Waktu untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan Sya’ban sebagaimana yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِيْ شَعْبَانَ الشُّغْلَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qadho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
* Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara terpisah.
Hal ini berdasarkan hukum umum dalam firman Allah Ta’ala :
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara berturut-turut atau secara terpisah.
* Dan tentunya tidaklah diragukan bahwa mempercepat dalam meng-qodho` puasa adalah perkara sangat yang afdhol (lebih utama).
Hal ini berdasarkan keumuman perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala :
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 61)
* Barangsiapa yang tidak meng-qodho` puasanya hingga masuknya bulan Ramadhan berikutnya, padahal sebelumnya ada kemampuan dan kesempatan baginya untuk meng-qodho` puasanya, maka ia dianggap orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pernyataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِيْ شَعْبَانَ الشُّغْلَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qodho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengakhirkan qadho` puasa Ramadhan setelah Sya’ban, sebab andaikata hal tersebut boleh, niscaya ‘Aisyah akan mengakhirkan qadho`nya setelah Ramadhan karena mungkin saja dibulan Sya’ban beliau juga sibuk melayani Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Berangkat dari sini Imam empat dan jumhur ulama salaf dan khalaf bahkan ada dinukil kesepakatan dikalangan ulama akan tidak bolehnya mengakhirkan qodho` setelah Ramadhan.
* Adapun jika seseorang tidak mampu sama sekali untuk meng-qodho` puasanya karena udzur yang terus menerus menahannya seperti orang yang musafir terus menerus, perempuan yang masa kehamilannya rapat/dekat dan lain-lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan hendaklah mengganti puasanya kapan ia mampu.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
Bagi orang yang meninggal dan belum meng-qodho` tunggakan puasanya pada bulan Ramadhan padahal sebelumnya ada kemampuan baginya untuk meng-qodho` puasanya, maka wajib atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa yang meninggal dan atasnya ada tunggakan puasa, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.”
Adapun kalau meninggal sebelum ada kemampuan yang memungkinan baginya untuk meng-qodho` puasanya maka tidak ada dosa atasnya insya Allah dan juga tidak ada kewajiban atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
12. Ketentuan Membayar Fidyah.
* Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang:
• Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa.
• Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan kandungannya, anak yang disusuinya, atau dirinya sendiri jika ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Daud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu Abbas :
رَخَّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَالْعَجُوْزِ الْكَبِيْرَةِ فِيْ ذَلِكَ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءَا أَوْ يُطْعِمَا كَلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِيْ هَذِهِ الْآيَةِ فَمْنَ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَثَبَتَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَالْعَجُوْزِ الْكَبِيْرَةِ إِذَا كَانَا لَا يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent.) sementara keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho` atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan memberikan bahaya kepada kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent.) boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafazh hadits oleh Ibnul Jarud)
• Orang sakit terus menerus yang tidak diharapkan kesembuhannya.
Hal diatas berdasarkan riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas oleh Imam An-Nasa`i dengan sanad yang shahih dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
لَا يُرَخَّصُ فِيْ هَذَا إِلَّا لِلَّذِيْ لَا يُطِيْقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيْضٌ لَا يُشْفَى
“Tidak diberikan keringanan untuk ini (tidak berpuasa akan tetapi membayar fidyah) kecuali pada orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa atau pada orang sakit yang tidak bisa sembuh.”
* Cara membayar fidyah adalah dengan memberikan makan orang miskin sejumlah hari yang telah ditinggalkan, contoh : apabila ia tidak berpuasa 15 hari maka ia memberi makan 15 orang miskin.
* Dan membayar fidyah boleh sekaligus dan boleh sebahagian secara terpisah.
* Membayar fidyah berdasarkan konteks ayat adalah dengan makanan. Maka dengan ini kami tegaskan bahwa fidyah tidak boleh diuangkan.
* Teks ayat sifatnya umum tidak merinci ketentuan tentang jenis makanan. Jadi kapan suatu makanan dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan manusia di suatu tempat maka hal tersebut telah dianggap syah/cukup untuk membayar fidyah.
* Dan banyaknya makanan juga tidak dirinci dalam teks ayat sehingga ini juga kembali kepada kebiasaan orang banyak di suatu tempat atau negeri.
* Namun tidak diragukan akan terpujinya membayar fidyah dengan makanan yang paling baik dan berharga, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
13. Membayar Kaffarah.
* Kaffarah adalah denda yang dikenakan atas seseorang dengan tiga syarat pelanggaran:
• Melakukan hubungan suami istri.
• Melakukannya di siang hari Ramadhan.
Adapun jika ia melakukannya di malam hari atau di luar bulan Ramadhan, seperti pada saat ia membayar tunggakan puasa Ramadhannya, maka tidaklah dikenakan atasnya kaffarah.
• Dalam keadaan berpuasa.
Adapun jika ia melakukan di bulan Ramadhan dan ia dalam keadaan tidak berpuasa seperti seorang yang kembali dari perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa lalu mendapati istrinya usai mandi suci dari haidh kemudian keduanya melakukan hubungan maka keadaan seperti ini tidak dikenakan kaffarah.
* Dan menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama bahwa dikenakan kaffarah atas sang istri jika ia mengaja atau taat pada suaminya dengan kemauannya sendiri untuk melakukan hubungan intim.
* Seseorang membayar kaffarah adalah dengan memilih salah satu dari tiga jenis kaffarah berikut ini secara berurut sesuai kemampuannya :
1. Membebaskan budak. Tidak ada perbedaaan antara budak kafir dengan budak muslim menurut pendapat yang paling kuat.
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Dan jumhur ulama mensyaratkan agar dua bulan ini jangan terputus dengan bulan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang berpuasa padanya yaitu hari ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Dan apabila ia berpuasa kurang dari dua bulan maka belumlah dianggap membayar kaffarah.
3. Memberi makan 60 orang miskin dengan sesuatu yang dianggap makanan dalam kebiasaan kebanyakan manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu mud yaitu sebanyak dua telapak tangan orang biasa.
* Tidak syah membayar kaffarah dengan selain dari tiga jenis di atas.
* Apabila tidak ada kemampuan untuk membayar dari salah satu dari tiga jenis di atas maka kewajiban membayar kaffarah tersebut tetap berada di atas pundaknya sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayarnya.
Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ, قَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ ؟ قَالَ : وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِيْ فِيْ رَمَضَانَ (وَأَنَا صَائِمٌ) قَالَ هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سَتِّيْنَ مِسْكِيْنًا قَالَ لَا قَالَ ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِيَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهَاذَا قَالَ أَفْقَرُ مِنَّا ؟ فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.
“Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata : “Saya telah binasa wahai Rasulullah, beliau berkata : “Apakah yang membuatmu binasa,? ia berkata : “Saya telah menggauli (hubungan intim dengan) istriku dalam (bulan) Ramadhan {padahal saya sedang berpuasa}[2].” Maka beliau bersabda : “Apakah engkau mampu membebaskan budak ?” , ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh orang miskin ?” ia berkata : “Tidak.” Lalu iapun duduk. Kemudian dibawakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam satu ‘araq (tempat yang sekurang-kurangnya dapat memuat 60 mud,-pent.) berisi korma, maka beliau berkata kepadanya : “Bershadaqahlah engkau dengan ini.”, ia berkata : “(Apakah) diberikan kepada orang lebih fakir dari kami?, tidak ada antara dua bukit Madinah keluarga yang lebih fakir dari kami.” Maka tertawalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam hingga nampak gigi taring beliau kemudian beliau berkata : “Pergilah dan beri makan keluargamu dengannya.”
14. Beberapa Kesalahan Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan.
* Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab.
Hal ini tentunya merupakan kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 185 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Dalam ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menghisab dan yang lainnya.
* Mempercepat makan sahur
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang beliau mengakhirkan sahurnya sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
* Menjadikan tanda imsak sebagai batasan waktu sahur
Sering terdengar di bulan Ramadhan tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara rekaman ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya, yang diperdengarkan sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan dalam hadits Abdullah bin ‘Umar riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa batasan dan akhir makan sahur adalah adzan kedua yaitu adzan untuk sholat subuh. Inilah seharusnya yang dipegang oleh kaum muslimin yaitu menjadikan waktu adzan subuh sebagai batasan terakhir makan sahur dan meninggalkan tanda imsak yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
* Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur
Dan in juga merupakan perkara yang salah karena waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, bahkan bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan melafadzkan niat juga perkara baru dalam agama ini yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
* Meninggalkan berkumur dan menghirup air ketika berwudhu`
Ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa berkumur-kumur dan menghirup air merupakan pembatal puasa padahal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan perkara yang disunnahkan dalam syari’at Islam sebagaimana yang telah dijelaskan.
* Anggapan tidak bolehnya menelan ludah
Hal ini juga kadang kita dapati pada kaum muslimin sehingga kita kadang mendapati sebahagian kaum muslimin yang banyak meludah pada saat puasa. Tidakkah diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan memberatkan diri tanpa dilandasi dengan tuntunan yang benar dalam syari’at Islam.
* Mengakhirkan buka puasa
Ini juga kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin padahal tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangatlah jelas akan sunnahnya mempercepat buka puasa sebagaimana yang telah kami jelaskan.
* Menghabiskan waktu di bulan ramadhan untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
* Perasaan ragu mencicipi makanan, padahal hal tersebut adalah boleh sepanjang menjaga jangan sampai menelan makanan tersebut sebagaimana terdahulu keterangannya.
* Menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari ibadah di bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir.
* Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasanya. Seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah karena kewajiban membayar fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.
Demikian tuntunan ringkas ini, mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk kita semua dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan yang agung dan mulia. Wallahu Ta’ala A’lam
________________________________________
[1] Demikian pendapat yang dahulu kami anggap kuat . Kemudian belakangan ini kami memandang bahwa pendapat yang kuat adalah tidak bisa di-qodho`. Uraiannya insya Allah akan kami tulis dalam rangkaian buku khusus berkaitan dengan tuntunan lengkap dan mendetail seputar puasa. Wallahul Muwaffiq.[2] Tambahan dalam riwayat Al-Bukhary.
Disalin dari http://darussunnah.or.id/artikel-islam/fiqih/panduan-puasa-ramadhan-di-bawah-naungan-al-quran-dan-as-sunnah/
Dipublikasikan kembali oleh http://salafiyunpad.wordpress.com

Seputar Fiqh Kewanitaan Di Bulan Ramadhan [2]

1. Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasanya dan mengetahui panasnya untuk disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, dan dia dalam keadaan berpuasa”. Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq. (Fathul Bary 4/154 ) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnadnya (3/47).

2. Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium suaminya atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat) nya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106).

Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassam: “Berkata penulis kitab Al-Iqna’ (karya Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.) : Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama).

3. Jika dia dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah menukil adanya ijma’ ‘ulama muslim tentang hal tersebut.

4. Jika ciuman itu menyebabkan keluarnya madzi, maka tidaklah membatalkan/merusak puasanya.

5. Jika dua orang wanita saling bersentuhan (bergesekan) menyebabkan keluarnya mani, maka puasa keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qodho’ (diganti) dan tidak perlu kaffarah.

6. Jika seorang wanita (yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5)

II. SHALAT TARAWIH (QIYAMU RAMADHAN)

Shalat tarawih secara berjama’ah telah disyari’atkan di dalam ajaran agama Islam dan meliputi laki-laki maupun wanita. Maka disyari’atkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jama’ah berdasarkan hadits Abu Dzar : “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikitpun sejak awal bulan, hingga tinggal tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai lewat sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka aku (Abu Dzar) berkata : “Wahai Rasulullah seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai nafilah (sunnah)”, maka Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyam (shalat) sepanjang malam itu”. Maka ketika tinggal 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tinggal 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan istri-istrinya dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak dapat (kelewatan) Al-Falah, berkata seseorang apa itu Al-Falah ? Berkata Abu Dzar : As-Sahur (makan sahur), kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits ini adalah ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail.

Wanita yang akan hadir di mesjid untuk shalat tarawih berjama’ah disyaratkan baginya agar aman dari fitnah ; dan wajib baginya ketika sedang ke mesjid untuk menjaga hijabnya, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (Q.S. An-Nur : 31).

Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shof mereka (para wanita) dari belakang, sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat Muslim bersabda :

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.

“Sebaik-baik shofnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shofnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan”.

Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera keluar dari mesjid begitu selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) pandang/menilai -Wallahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) agar supaya para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary.

Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6)

III. I’TIKAF

1. Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita.
I’tikaf disyari’atkan (baca : disunnahkan) juga bagi wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (no.2026) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah subhanahu wa ta’ala mewafatkan beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf”. Dan sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (Fathul Bary 4/289) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Seorang wanita yang sedang menjalani istihadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna merah dan kuning (dari darah istihadhahnya) bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.

2. Disyari’atkan bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf adanya izin dari suaminya atau walinya dan aman dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Karena banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini dan karena adanya kaidah fiqh :

دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ

“Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kebaikan”.

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin, maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshof meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. Kata ‘Aisyah : “Dan adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda : “Apa ini ?”. Maka dijawab (ini adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshoh dan Zainab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini ? saya tidak (jadi) melakukan I’tikaf”. Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.

3. Berkata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 6/526) : “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif, diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallahu A’lam”.

4. Diperbolehkan bagi wanita haidh untuk menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku sementara beliau tinggal di mesjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhary, hadits no.2029.

5. Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf. Sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihadhah.

6. Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah ta’ala berkata bahwa Shofiyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk menjenguknya di mesjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shofiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu mesjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshor, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka berkata Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Pelan-pelanlah kalian (tenanglah), dia itu adalah Shofiyah binti Huyai”, maka keduanya berkata : “Maha suci Allah, wahai Rasulullah” dan keduanya merasa bersalah besar, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya syaithan itu bisa masuk ke anak cucu adam ke dalam darahnya dan aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan ke dalam hati kalian berdua sesuatu”.

7. Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang I’tikaf bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.

8. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya.

9. Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang beri’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Dan bertaqwalah kalian pada Allah subhanahu wa ta’ala Rabb kalian dan janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas”. (Q.S. Ath-Thalaaq : 1).

Demikianlah hukum-hukum yang khusus bagi wanita yang berhubungan dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=7)

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Mustamin Musaruddin. Judul asli “Hukum-Hukum yang berkaitan dengan wanita di bulan Ramadhan”. Url sumber http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=7)

http://akhwat.web.id

PUASA DAN SHALAT WANITA HAID, HAMIL, NIFAS, DAN MENYUSUI

PUASA DAN SHALAT WANITA HAID, HAMIL, NIFAS, DAN MENYUSUI
Sudah fitrahnya seorang wanita mengalami masa-masa yang rutin dan kadang berat terasa oleh sebagian wanita namun sebagiannya lagi mampu menjalaninya tanpa gangguan rasa apapun. Misalnya saat-saat haid, ada yang mengalami keram perut, ada yang mengeluh pusing-pusing, bahkan ada yang pingsan bila didatangi tamu rutin bulanan ini. Sebagian wanita saat hamil, mengeluhkan mual, muntah setiap minum atau menelan makanan. Saat menjalani nifas ada yang terserang anemia karena banyaknya darah keluar setelah melahirkan, akibatnya tubuh mudah letih dan lemas. Begitupula bila wanita sedang menyusui tidak jauh beda keluhan yang mungkin dihadapi seperti saat hamil ataupun nifas.
Untuk itulah Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin memberi kemudahan bagi wanita saat menghadapi kewajiban puasa sebagai salah satu ibadah yang wajib dijalani.

1. Wanita haid dan nifas

Wanita yang sedang mengalami haid atau nifas harus meninggalkan puasa dan shalat dan wajib meng-qadhanya sejumlah hari yang ditinggalkan. Aisyah radhiallahu 'anha berkata:
"Jika kami mengalami haid, maka diperintahkanuntuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat".( Hadist Muttafaq 'Alaih).
Berikut fatwa-fatwa Syekh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin dalam tanya jawab:

Soal:
Bagi wanita nifas, bila telah suci sebelum empat puluh hari, apakah wajib baginya berpuasa dan shalat?

Jawab:
Ya, bilamana wanita nifas telah suci sebelum 40 hari maka wajib baginya berpuasa bila pada bulan Ramadhan, dan wajib shalat, serta boleh bagi suami untuk menggaulinya karena dia dalam keadaan suci, tidak ada lagi sesuatu yang mencegah dari kewajiban berpuasa maupun kewajiban shalat dan boleh digauli.

Soal:
Seorang wantia yang haid atau nifas bila suci sebelum fajar, tetapi belum mandi kecuali setelah fajar, apakah puasanya sah atau tidak?

Jawab:
Ya, sah puasa wanita haid yang suci sebelum fajar dan belum mandi kecuali setelah terbit fajar. Juga wanita nifas, karena pada saat itu dia termasuk wanita yang berhak ikut berpuasa, keadaannya serupa dengan orang yang wajib mandi jinabat, tatkala fajar terbit dia masih dalam keadaan junub dan belum mandi, maka puasanya adalah sah. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa Ta'ala:

"Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (Al Baqarah: 187).

Jika Allah mengizinkan untuk menggaulinya hingga nyata fajar, berarti mandi tidak terjadi kecuali setelah terbit fajar. Dan berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu'anha:

"Bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam suatu pagi pernah dalam keadaan junub karena menggauli istrinya, sedangkan beliau pun berpuasa."

Artinya: bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam tidak mandi junub kecuali setelah terbit fajar.


Soal:
Apabila seorang wanita merasakan adanya darah tapi belum keluar sebelum terbenam matahari, atau merasakan sakitnya datang bulan, apakah sah puasanya pada hari itu atau wajib melakukan qadha?

Jawab:
Apabila seorang wanita yang masih dalam keadaan suci merasakan tanda tanda akan datangnya haid, sedang ia dalam keadaan puasa, tetapi belum keluar kecuali setelah terbenam matahari; atau merasakan sakitnya haid tetapi belum keluar kecuali setelah terbenam matahari, maka sah puasanya pada hari itu dan tidak wajib mengulangi jika puasa fardhu, atau tidak sia sia pahalanya jika puasa sunat.


Soal:
Apakah wanita haid harus mengganti pakaiannya setelah suci, padahal pakaiannya itu tidak terkena darah atau barang najis?

Jawab:
Tidak harus baginya hal tersebut karena haid tidak menjadikan badan najis, tetapi darah haid menjadikan najis bagian yang terkenanya saja. Karena itu Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam menyuruh wanita yang pakaiannya terkena darah haid agar mencuci darah itu dan shalat dengan pakaiannya tadi.

Soal:
Ada wanita yang ketika datang bulan Ramadhan berikutnya belum menyelesaikan tanggungan puasa dari bulan Ramadhan yang lalu. Apa yang mesti ia lakukan?

Jawab:
Wajib baginya bertaubat kepada Allah dari perbuatan ini. Karena tidak boleh bagi siapa saja yang mempunyai tanggungan qadha' puasa Ramadhan, mengerjakannya nanti sampai datang bulan Ramadhan berikutnya tanpa ada halangan. Berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu'anha:

"Pernah aku mempunyai tanggungan puasa Ramadhan aku tidak bisa menggantinya kecuali pada bulan Sya'ban."

Ini menunjukkan, tanggungan puasa tidak boleh dikerjakan nanti setelah bulan Ramadhan yang kedua. Maka, hendaklah ia bertaubat kepada Allah dari perbuatannya dan mengganti puasa yang ditinggalkannya sesudah Ramadhan yang kedua.

Soal:
Jika seorang wanita mengalami haid pada pk. 01.00 siang umpamanya dan dia belum mengerjakan shalat Zhuhur, apakah dia harus mengqadha' shalat Zhuhur ini setelah suci?

Jawab:
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Ada yang berpendapat, dia tidak harus mengqadha' shalat itu karena dia tidak meremehkan, juga tidak berdosa karena boleh baginya mengerjakan shalat sampai pada akhir waktunya. Ada lagi pendapat yang mengatakan, dia harus mengqadha' shalat itu, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam:

"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu."

Dan sikap yang hati hati ialah mengqadha' shalat itu, karena hanya satu shalat saja dan tidak ada kesulitan dalam mengqadha'nya.

Soal:
Apa pendapat Anda tentang penggunaan pil pencegah haid agar dapat berpuasa bersama orang lain?

Jawab:
Saya sarankan untuk menghindari penggunaan pil semacam ini, karena efek sampingnya yang besar. Ini saya ketahui dari para dokter. Perlu dikatakan pada kaum wanita, hal ini adalah takdir Allah untuk para puteri Adam, maka terimalah dengan hati rela apa yang telah ditakdirkan Allah subhanahu wa Ta'ala dan berpuasalah bilamana tidak ada halangan. Jika ada halangan, maka janganlah berpuasa sebagai penerimaan apa yang ditakdirkan Allah.

Soal:
Seorang wanita kedatangan haid setelah masuk waktu shalat, apakah wajib baginya mengqadha' shalat itu jika telah suci, demikian pula jika telah suci sebelum habis waktu shalat?

Jawab:
Pertama. Jika wanita kedatangan haid setelah masuk waktu shalat wajib baginya, jika telah suci, mengqadha' shalat pada waktu dia haid bila dia belum mengerjakannya sebelum datangnya haid. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:

"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu."

Jadi, seandainya seorang wanita bisa mengerjakannya sekadar satu rakaat dari waktu shalat kemudian dia kedatangan haid sebelum mengerjakannya, maka jika dia suci nanti, wajib mengqadha'nya.

Kedua, Jika wanita suci dari haid sebelum habis waktu shalat, wajib baginya mengqadha' shalat tersebut. Seandainya dia suci pada saat sekadar satu rakaat sebelum terbit matahari maka wajib baginya mengqadha' shalat subuh. Atau suci sebelum terbenam matahari sekadar satu rakaat, maka wajib baginya mengqadha' shalat Ashar. Atau suci sebelum tengah malam sekadar satu rakaat, wajib baginya mengqadha' shalat Isya'. Namun kalau suci setelah tengah malam, tidak wajib baginya shalat Isya', tetapi dia berkewajiban shalat subuh bila telah masuk waktunya.

Firman Allah:
"Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang orang yang beriman." (An Nisa': 103).

Berarti tidak boleh bagi seseorang mengerjakan shalat di luar waktunya atau memulai shalat sebelum masuk waktunya.

Soal:
Kapan akhir waktu shalat Isya'? Dan bagaimana dapat mengetahuinya?

Jawab:
Akhir waktu shalat Isya' yaitu pertengahan malam. Ini diketahui dengan membagi antara terbenam matahari dengan terbit fajar menjadi dua. Paruh pertama merupakan habisnya waktu Isya' dan paruh malam yang kedua bukan waktunya, tetapi merupakan batas antara Isya' dan Shubuh.

Diambil dari; Buku 52 Persoalan Sekitar Hukun Haid

Judul asli : 52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh fis Shalat was Shiyam wal Hajj
Penulis : Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin


2. Wanita hamil dan menyusui

Jika khawatir atas kesehatan anaknya boleh bagi mereka tidak berpuasa dan harus mengqadha serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Jika mereka berpuasa maka syah puasanya. Adapun jika khawatir atas kesehatan diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha saja. Demikian dikatakan Ibnu Abnas sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud, (lihat kitab Ar Raudhul Murbi', 1/24). Diambil dari: Buku Risalah Ramadhan
Judul asli : Risalah RAamadhan
Penulis : Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al Jarullah